Perkembangan Sejarah Sastra Arab (ادب الارب)


PERKEMBANGAN SEJARAH SASTRA ARAB (ADAB AL-ARABI)


Penyebaran sastra arab pada dasarnya sangatlah berkaitan erat dengan menyebarnya Islam secara luas ke berbagai penjuru belahan dunia terutama pada abad ke 7 hijriah, hal ini dikarenakan bahasa Arab adalah bahasa Al-Qur’an yang mulia. Bahasa yang indah ini menyebar ke berbagai penjuru timur dan barat, sehingga sebagian besar peradaban dunia pada masa itu sangat terwarnai oleh peradaban Islam.
Mereka yang berperan mengembangkan sastra arab pada masa kejayaan islam berasal dari berbagai suku bangsa, diantara mereka berasal dari Jazirah Arab, Mesir, Romawi, Armenia, Barbar, Andalusia dan sebagainya, walau berbeda bangsa namun mereka semua bersatu diatas Islam dan Bahasa Arab, mereka berbicara dan menulis karya sastra serta berbagai kajian keilmuan lainnya dengan Bahasa Arab .
Dan tidaklah Allah menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Quran melainkan karena ia adalah bahasa terbaik yang pernah ada. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya Kami telah jadikan Al-Quran dalam bahasa Arab supaya kalian memikirkannya.”.20
Allah juga berfirman :
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada Setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun.21
Sastra dalam bahasa Indonesia berarti: (1) bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai di kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari), (2) karya tulis, yang jika dibandingkan dengan tulisan lain memiliki berbagai macam cirri keunggulan, seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya, drama, epik, dan lirik, (3) kitab suci (Hindu), kitab (ilmu pengetahuan), (4) pustaka, kitab primbon (berisi) ramalan, hitungan dan sebagainya, dan (5) tulisan, huruf.22 Walaupun penjelasan ini memberikan banyak kemudahan dalam hal keterangan maupun batasan tentang sastra, tetapi banyak keterangan maupun batasan lain tentang sastra yang menunjukkan bahwa ada saja yang menentang, mempertanyakan, atau menyangsikan keterangan-keterangan ataupun batasan yang berlaku bagi sastra tertentu.23
Definisi sastra yang ada masih membuka peluang untuk diperdebatkan, namun kita juga perlu menentukan cirri-cirinya, karena hal itu lebih urgen daripada membuat definisi yang holistic dan komprehensif. Cirri-ciri tersebut adalah sebagai berikut:
1. Sastra bukanlah suatu komunikasi praktis, yang isi dan maksudnya langsung terlihat, tertangkap, dan terpahami manakala membaca atau mendengar sebuah komunikasi, seperti membaca buku-buku lainnya yang tidak bernama sastra. Dalam sastra, makna tersirat lebih dominan daripada makna tersurat. Efek pengasingan dalam sastra melambatkan pencerapan kita terhadap maknanya. Tetapi justru di situ pula letak intensitas maknanya.
2. Karya sastra adalah karya kreatif, bukan semata-mata imitative. Kreatif dalam sastra berarti ciptaan, dari tidak ada menjadi ada. Baik bentuk maupun makna merupakan kreasi. Bahasa sebagai system primer menurut Jurit Lotman, seorang ahli semiotika berkebangsaan Rusia, telah mempunyai makna sebelum disusun menjadi sastra sebagai system sekunder. Kreatif dalam sastra juga berarti pembaruan. Teeuw menegaskan bahwa pemerkosaan dan pelanggaran konvensi adalah sifat karya seni yang khas. Malahan pada masa tertentu, hasil dan nilai sebuah karya seni sebagian besar ditentukan oleh Berjaya tidaknya dalam usaha mendobrak dan merombak konvensi.
3. Karya sastra adalah karya imajinatif. Ia bukan representasi dari kenyataan. Akan sia-sia bila dapat berjumpa dengan kehidupan sebagaimana yang disajikan dalam karya sastra. Oleh karena imajinatif, dengan sendirinya ia juga bersifat subjektif, baik subjektif dalam penciptaan maupun subjektif dalam pemahaman.
Keselarasan yang ada dalam karya sastara tida secara otomatis berhubungan dengan keselarasan yang ada dalam masyarakat tempat sastra itu lahir.
4. Karya sastra adalah karya otonom. Karya sastra adalah karya yang patuh pada dirinya sendiri. Tentang otonomi karya sastra, sebagaimana yang diungkapkan oleh Teeuw, karya sastra atau karya seni pada umumnya merupakan keseluruhan yang bulat, yang berdiri sendiri, yang otonom dan yang boleh dan harus kita pahami dan tafsirkan pada sendirinya, sebuah dunia rekaan yang tugasnya haya satu, patuh setia pada dirinya sendiri. Tetapi pada pihak lain, tidak ada karya seni manapun juga yang berfungsi dalam situasi kosong, karena ia merupakan aktualisasi tertentu dari system dan kode budaya.
5. Karya sastra adalah karya koheren. Orehensi dalam karya satra tidak mengandung arti tidak satu unsurpun yang tidak fungsional, walaupun hanya sebuah titik. Koherensi dalam karya sastra juga membedakan dengan karya-karya non-sastra, dalam karya sastra, setiap unsur mempunyai hubungan dengan unsur-unsur yang lain. Begitu padunya hubungan itu, sehingga apabila ditukar letaknya, apalagi diganti unsurnya, maka keseluruhan karya itu akan kehilangan kekuatannya sebagai karya sastra dan akan menimbulkan perubahan makna. Karena yang dipahami dalam karya sastra bukanlah “meaning” akan tetapi “significance”.
6. Konvensi suatu masyarakat amat menentukan mana karya yang dapat disebut sebagai karya sastra dan mana yang tidak. Karya sastra pada masyarakat tertentu belum tentu disebut sastra oleh masyarakat yang lain, karena perbedaan konvensi yang mereka anut. Karya sastra pada masa lalu mungkin tidak akan disebut sebagai sastra pada masa berikutnya, karena perubahan konvensi yang diakibatkan perubahan tata nilai dalam kehidupan.
7. Sastra tidak sekedar bahasa yang ditulis atau diciptakan, dan ia tidak sekadar permainan bahasa. Akan tetapi ia adalah bahasa yang mengandung makna lebih. Ia menawarkan nila-nilai yang dapat memperkaya ruhani dan meningkatkan mutu kehidupan. Bahkan ia mampu memenuhi hasrat manusia untuk berkontemplasi.24 Sastra Arab yang dalam bahasa Arab ialah Adab al-Arabi. Adab secara bahasa berasal dari kata أدب يأدب yang berarti sopan atau berbudi bahasa yang baik.25
Sedangkan secara khusus Al-Adab ialah :
“Yaitu perkataan yang indah dan jelas, dimaksudkan untuk menyentuh jiwa
mereka yang mengucapkan atau mendengarnya baik berupa syair maupun
natsr atau prosa. “26
Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa adab al-‘Arabi terbagi dalam dua macam bentuk yaitu:
1. Nastr (prosa) yaitu ungkapan yang indah namun tidak memiliki wazan (timbangan atau irama kata yang menyusun suatu bait syair) maupun qofiyah (kesamaan bunyi huruf akhir dalam sebuat bait syair). dan macam-macamnya
adalah: khotbah, surat, wasiat, perkataan hikmah, matsal, dan kisah. Sebagai contoh prosa ialah :
Khutbah dari Qas ib Saa’adah sebagai berikut :
Artinya: “Wahai manusia dengarkanlah, dan ingatlah, barangsiapa yang hidup akan mati, dan barang siapa yang mati akan binasa, semua itu pasti terjadi. Malam yang gelap, siang yang tenang, dan langit yang berbintang, ingatlah aku hendak menyampaikan pesan di padang pasir, dan pelajaran di tempat penguburan!. Sesungguhnya ada berita di langit, dan ada pelajaran di bumi, mengapa aku melihat manusia pergi, dan mereka tak kembali? Adakah mereka rela di suatu tempat kemudian mendiaminya? Ataukah mereka meninggalkan kemudian tidur?. Wahai kaum Iyad, di mana ayah dan kakek? Di mana orang yang sakit dan pengunjungnya? Di mana raja yang kejam? Di mana orang yang membina dan membangun? Yang memperindah dan memperluas? Ia terpesona oleh harta dan anak?. Apakah mereka tidak lebih banyak hartanya dari kalian? Dan lebih panjang usianya?”.
2. Syair secara etimologis, kata syair berakar dari kata شعر يشعر شعرا شعوراyang berarti mengetahui, merasakan, sadar, mengomposisi, atau menggubah sebuah syair. Sedangkan secara terminologis ialah kata-kata yang berirama dan berqofiyah yang diciptakan dengan sengaja.28
Sebagai contoh syair ialah:
Syair dari Ibn Khafajah:
“Sungai itu bengkok seperti gelang, seakan-akan sungai dan bunga itu
dipelihara turunnya hujan
Di pagi hari ranting-ranting pohon yang mengelilingi, seperti bulu mata
mengelilingi bola mata yang biru”29
Sastra Arab bisa dikatakan sebagai sastra yang paling kaya secara umum diantara bahasa-bahasa samawi, karena sastra arab terbentuk oleh percampuran berbagai sastra dari berbagai umat dalam peradaban Islam yang terkumpul dalam Daulah Islamiyah seperti orang-orang Arab, Persia, Turki, Iraq, Mesir, Romawi dan lain-lain. Dan mereka semua menterjemahkan dan membuat syair-syair Arab dan mereka juga mengarang kitab-kitab berbahasa Arab dalam bentuk tata bahasa, nahwu, sejarah, kedokteran, keilmuan, filsafat.30 Maka oleh sebab itulah bahasa Arab diliputi oleh berbagai tata karma dan perangai dan juga banyaknya uslub-uslub lafadz asli mereka yang masuk dengan tanpa disadari.31
Sejarah sebuah sastra sangat memiliki hubungan erat dengan sejarah politik maupun sosial sebuah umat tertentu, sehingga keduanya memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap perkembangan sebuah sastra. Setiap sebuah bentuk politik dan kebangkitan sosial yang terjadi pada sebuah masyarakat akan terekam dalam sebuah fikiran yang kemudian akan diungkapkan oleh para penyair dan tulisan para ulama’ karena pekanya mereka terhadap kejadian-kejadian yang ada yang kemudian menyebar kepada seluruh umat yang berbentuk syair, khitabah, kitab dan lain-lain.32
Maka dari itu pembagian sejarah perkembangan sastra Arab menjadi lima sesuai dengan perkembangan sejarah politik dan sosial bangsa Arab:
1. Zaman Jahiliyyah yaitu dimulai pada pertengahan abad kelima tahum masehi sampai datangnya Islam pada tahun 622 M.
2. Zaman daulah Islamiyyah dan Bani Umayyah yaitu di buka pada masa muncul Islam sampai berdirinya daulah Abbasiah pada tahun 132 H.
3. Zaman daulah Abbasiyah yaitu dimulai ketika berdirinya daulah Abbasiyah sampai jatuhnya Bagdad ke dalam kekuasaan pada tahun 656 H.
4. Zaman Turki yaitu dimulai ketika jatuhnya Bagdad sampai pada kebangkitan Islam yaitu pada tahun 1220 H.
5. Zaman baru yaitu dimulai pada tahun 1220 H sampai saat ini.33
20. Q.S. Yusuf [12] : 2
21 QS. Ibrahim [14] : 24-25
22 Lukman Ali, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka. 1994). Hal. 786
23 Akhmad Muzakki, Kesusastraan Arab (Pengantar Teori dan Terapan), (Jogjakarta: AR-RUZZ
MEDIA. 2006). Hal. 29
24 Akhmad Muzakki, Kesusastraan Arab (Pengantar Teori dan Terapan),…Hal. 35-36
25 A. W. Munawwir , Kamus Al-Munawwwir Arab-Indonesia Terlengkap ,( Surabaya : Pustaka
Progresif, 1997), Hal. 12
26 Ahmad Husain az-Ziyat, Tãrîkhu Al-Adab Al-Arabî, (Kairo: Darr Nahdloh Mesir , 1977) Hal. 32
27 Ahmad Husain az-Ziyat, Tãrikhu Al-Adab Al-Arabî,…,Hal. 25
28 Akhmad Muzakki, Kesusastraan Arab (Pengantar Teori dan Terapan),…Hal. 41
29 Akhmad Muzakki, Kesusastraan Arab (Pengantar Teori dan Terapan),…Hal.78
30 Jarji Zaidan, Tãrîkh al-Adab al-Lugah Al-Arabiyyah, (Kairo : Dar al-Ma’rifah, 1975). Hal. 23
31 Jarji Zaidan, Tãrîkh al-Adab al-Lugah Al-Arabiyyah,,…, Hal. 23
32 Ahmad Husain az-Ziyat, Tãrîkh Al-Adab Al-Arabî, Hal. 5
33 Akhmad Muzakki, Kesusastraan Arab (Pengantar Teori dan Terapan),…Hal.62

Sumber: https://kajianfahmilquranhfd.wordpress.com/2013/12/07/perkembangan-sejarah-sastra-arab-adab-al-arabi/
Sumber Image: https://firmandataufiq.wordpress.com/2015/09/15/sastra-arab-dan-tantangan-peradaban-dunia-intelektual/

Komentar

Postingan Populer