Artikel Urgensi NKRI Bersyariah Berbalut Ruang Publik yang Manusiawi
Urgensi NKRI Bersyariah Berbalut Ruang Publik
yang Manusiawi
Oleh: Sarah Salamah
NKRI bersyariah mulai muncul ketika diserukan oleh pelopor aksi 212 tahun 2016. Aksi ini adalah aksi persatuan
umat Islam dalam menyuarakan pendapat dan tanggapan mereka mengenai suatu persoalan yang melanda
kenteraman bangsa ini dan dianggap
menyinggung syariat agama Islam. Aksi
ini tidak lain diprakarsai oleh seorang tokoh Islam terkemuka sekaligus
pemimpin organisasi Front Pembela Islam, Habib Rizieq Syihab. Tidak cukup hanya
sekali, Habib Rizieq menyerukan kembali makna pentingnya NKRI bersyairah di forum lainnya yaitu ketika Reuni 212 tahun 2017
dan setelahnya mulai bermunculan forum-forum lainnya yang juga ingin menegakkan NKRI bersyariah. Dalam pidato-pidatonya beliau
menegaskan bahwa NKRI bersyairah itu untuk menyelesaikan permasalahan dan
ketimpangan yang melanda negara tercinta kita.
Masalah dihadapi negara ini begitu banyak dan kompleks. Mulai dari bagaimana pihak asing
berhasil mengeksploitasi sumber daya alam yang seharusnya bisa menjadi sumber pendapatan
masyarakat lokal. Namun masyarakat yang
hidup di tengah sumber daya alam yang melimpah, justru mendapat penderitaan
yang mendalam. Bagaimana tidak? Hal ini
diibaratkan seperti ada seorang anak yang kelaparan ditengah lumbung padi yang
melimpah ruah. Sungguh sangat menyayat hati, menderita di rumah sendiri yang dipenuhi
makanan. Permasalahan lainnya adalah degradasi/ kemorosotan moral yang marak
terjadi di generasi muda. Banyak sekali budaya-budaya asing yang merajalela dan
merusak moral anak-anak bangsa. Padahal,
budaya ini sangat bertentangan dengan falsafah negara ini, Pancasila.
Budaya-budaya ini menjerumuskan kaum muda ke dalam jurang kemaksiatan dan juga
mengakibatkan mereka tidak dapat mengembangkan bakat dan kreativitas yang mereka miliki dan juga
mencegah prestasi yang dapat mengharumkan nama bangsa kita. Permasalahan utama lainnya adalah jurang yang
memisahkan si kaya dan si miskin. Perbedaan pendapat yang dimiliki konglomerat
dengan orang biasa sangat terlampau jauh, apalagi bila dibandingkan dengan
masyarakat yang bisa dikatakan jauh dari
kata ‘layak’. Bagaimana tidak?, menurut survei lembaga keuangan Swiss, Credit
Suisse 1 orang paling kaya di negara kita bisa menguasai 46 % kekayaan tingkat
nasional.
Lantas bagaimana kita mengatasi semua permasalahan yang terjadi ini? Menurut Denny
JA, Ph.D dalam artikelnya yang berjudul NKRI bersyariah atau Ruang publik yang
manusiawi diperlukan dua tahap lagi dalam menjalankan NKRI bersyariah yaitu
mengoperasionalkan apa yang dimaksud NKRI bersyariah setelah memahami maksud
NKRI bersyariah dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijadikan indeks
terukur, dan setelahnya menguji NKRI bersyariah yang menjadi indeks itu dengan membandingkannya
dengan indeks di dunia. Sehingga dapat ditemukan negara dengan indeks tertinggi yang bisa dijadikan
tolak ukur NKRI bersyariah.
Menurut lembaga Islamicity Index yang mengkaji
negara-negara berdasarkan sistem ruang
publik mereka sesuai ajaran syariat Islam, didapat bahwa yang
menjadi peringkat teratas bukanlah negara-negara Islam. Berdasarkan berbagai
pertimbangan kriteria-kriteria seperti:
ekonomi, hukum dan pemerintahan, HAM dan hak politik serta hubungan internasional
didapatlah 5 negara peringkat tertinggi, yaitu: Selandia Baru, Belanda, Swedia,
Irlandia dan Swiss pada tahun 2017. Malaysia mengungguli negara Islam lainnya
yaitu berada di peringkat 43, sedangkan Arab Saudi mendapat peringkat 88 dan
Indonesia sendiri berada di peringkat 74.
Setelah dikaji rupanya malah negara-negara
yang mayoritas Nonmuslim yang malah menegakkan ajaran agama Islam dalam sistem
pemerintahan yang mereka anut. Jikalau
kita memang ingin melaksanakan NKRI bersyariah bukankah lebih baik kita
menciptakan ruang publik yang manusiawi terlebih dahulu. Ruang publik yang
dimaksud ini bukan berarti tidak menjalankan ajaran agama. Justru di dalamnya
terkandung nilai-nilai yang diajarkan agama, bahkan kebijakan ini tidak hanya
mementingkan kaum Muslim, kaum Nonmuslim pun juga dipentingkan. Jika kita
menilik kembali ketika masa sebelum kemerdekaan NKRI, ketika founding fathers menyusun ideologi
Indonesia saat ini, mereka juga memperhatikan kepentingan warga Indonesia
bagian Timur. Sehingga pada saat itu sila pertama pancasila yang berbunyi, “ketuhanan
Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”
dirubah menjadi “ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dengan menciptakan ruang publik ini secara
tidak langsung kita membuat negara kita menjadi negara yang bersyariah. Karena
sangat sesuai dengan konsep negara Islam yang adil dan makmur. Negara Islam
juga menjunjung tinggi toleransi terhadap umat agama lainnya. Kita harus saling
menghargai dan menghormati keyakinan yang dianut masing-masing karena dalam
Islam sendiri tidak ada keterpaksaan. Kita tidak bisa memaksakan ajaran agama
kita kepada kelompok lain atau menghalangi kelompok itu menjalankan ibadah
mereka. Kita juga harus berpedoman kepada pancasila. Pancasila bukan hanya
sebagai nilai-nilai simbolik semata. Kita harus mengamalkan apa yang ada di
dalamnya. Semua jawaban dari permasalahan yang membelit negara ini sebenarnya dapat kita selesaikan apabila kita
benar-benar mengamalkan apa yang ada di dalamnya. Yang kita butuhkan sekarang
adalah calon pemimpin bangsa yang dapat mengamalkan pancasila ke dalam
kehidupan sehari-harinya. Karena dari hal-hal yang sederhana itu akan membawa
perubahan besar dalam kemajuan negara ini. Karena kelak bila ia memimpin bangsa
maka ia sudah siap. Sudah ada akar kokoh yang siap menopang batang yang besar itu, sehingga pohon itu tidak akan
mudah goyah.
Yogyakarta,
Februari 2019
(Sudah dipublish di Surat Kabar Jambi Ekspres tahun 2017)
Komentar
Posting Komentar